Aplikasi BumiKita bantu tiga anak asal Jawa Barat untuk siap siaga hadapi bencana dalam berbagai cara
Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana setiap 26 April yang merupakan inisiasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana bertujuan mengajak semua pihak meluangkan waktu satu hari untuk melakukan latihan kesiapsiagaan bencana secara serentak.
Save the Children, dengan dukungan dari Google.org, berupaya untuk membangun ketangguhan anak dan keluarga, terutama mereka yang tinggal di daerah rawan bencana. Upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan informasi dan pelatihan kepada anak lewat aplikasi BumiKita. Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, kesadaran publik tentang upaya pengurangan risiko bencana dapat meningkat.
Survei yang dilakukan Save the Children pada tahun 2019 di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Tasikmalaya menunjukkan bahwa 7 dari 10 anak tidak mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana. Fitur “Bagaimana Jika” yang ada di aplikasi BumiKita menjadi favorit anak-anak untuk meningkatkan pengetahuan kesiapsiagaan bencana. Tercatat 80% pengguna aktif aplikasi ini telah menyelesaikan 11 skenario ancaman, termasuk pandemi.
Adji, seorang anak tuna wicara berusia 17 tahun, yang tinggal di daerah rawan gempa, longsor, dan kebakaran, bercerita, “Waktu itu saya bingung, takut, dan hanya bisa menangis sambil memeluk ibu saya. Saat itu saya tidak tahu apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi. Sangat penting bagi saya untuk mengedukasi diri soal bencana alam, karena itu saya memakai aplikasi BumiKita. Di sini saya bisa belajar sambil bermain lewat permainan “Bagaimana Jika” yang mengajari saya untuk selalu siap siaga karena bencana bisa datang kapan saja.”
Survei yang sama menunjukkan bahwa 70% anak berpendapat bahwa anak-anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, perlu mengetahui informasi kesiapsiagaan bencana. Sebanyak 60% pengguna aktif aplikasi BumiKita mengakses fitur Zona Pantau untuk melaporkan titik ancaman dan kejadian bencana secara real-time. Fitur inilah yang digunakan oleh Arfi, remaja berusia 17 tahun asal Tasikmalaya, yang pernah melaporkan titik ancaman dan titik bencana di Kabupaten Tasikmalaya melalui aplikasi BumiKita.
Arfi bertutur, “Saya punya adik laki-laki, namanya Hazka, berusia 11 tahun yang memiliki keistimewaan lewat down syndrome. Hazak menjadi orang yang pertama kali tahu perasaan saya jika saya memiliki masalah. Saat ini kita sedang menghadapi bencana COVID-19 dan saya khawatir menjadi salah satu penyebar, terutama ke keluarga, terlebih ke Hazka. Sejak itu, saya mulai giat mengedukasi diri melalui aplikasi BumiKita. Satu kewajiban bagi saya untuk mengedukasi diri terkait dengan pengurangan risiko bencana supaya bisa menyelamatkan orang yang saya sayangi kalau terjadi bencana sewaktu-waktu.”
Dari Survei tersebut juga diketahui bahwa 64% anak-anak mendapat informasi tentang bencana melalui media sosial. Akun media sosial yang diikuti anak sangat beragam, tentunya berpengaruh terhadap keakuratan data informasi. Di aplikasi BumiKita terdapat fitur “Cerita Warga” yang menjadi tempat semua orang bisa menceritakan pengalamannya dalam menghadapi bencana agar menjadi informasi bagi banyak orang. Lewat fitur ini, pengguna bisa membaca dan belajar dari pengalaman yang tertera di sana.
Regina, anak perempuan berusia 14 tahun asal Cileunyi yang pernah mengalami gempa di Pangandaran, bercerita, “Aku takut saat itu berpotensi tsunami, tapi aku tidak mau panik dan ingin mendapatkan informasi yang akurat, makanya aku membuka aplikasi BumiKita yang menyajikan informasi yang cepat dan akurat yang sangat penting ketika bencana alam terjadi. Aplikasi ini bersifat kolaboratif dan memiliki banyak manfaat, makanya aku mengajak orang tua, keluarga, guru dan teman untuk menggunakannya. Aplikasi ini juga seru karena bisa mendapatkan poin pengalaman dan masuk ke Leaderboard (papan peringkat).”
Leaderboard merupakan hasil eksplorasi dari Gamification. Menjalankan misi, mendapat experience point untuk mencapai level tertentu adalah salah satu pendekatan pembelajaran di era informasi digital. Regina menambahkan, “Aku bercita-cita menjadi seorang dokter anak karena anak-anak adalah kalangan yang paling rentan jika terjadi bencana. Oleh karena itu, aku mengajak teman-teman untuk belajar upaya pengurangan risiko bencana, terutama tentang cara mengevakuasi diri saat terjadi bencana.”