Keponakan Ibuk Kos
Diarman langsung merebahkan tubuh di tempat tidur kecil di kamar kosnya. Kamar kos yang baru disewa dan ditempatinya hari itu.
Ada rasa nyaman dan tenang bersarang di hatinya. Rasa yang sudah lama diidamkannya.
Sebelumnya guru muda itu memang tinggal di tempat kos yang mewah. Sarana dan fasilitas lengkap. Sewa per bulannya pun sebanding dengan kemewahan tempat kos itu.
Namun sangat disayangkan. Suasana di lingkungan sekitarnya tidak membuatnya merasa nyaman. Bising!
Hiruk-pikuk manusia di tengah keramaian. Tidak siang tidak malam. Begitu pula bunyi kendaraan bermotor yang bising dan menyakitkan telinga.
Orang-orang seakan menutup telinga. Tidak peduli atau tidak berani menegur anak-anak baru gede itu balapan motor di malam hari.
Diarman, guru muda itu akhirnya memutuskan untuk pindah kos. Memilih tempat yang memang jauh dari kebisingan.
Agak ke pinggiran kampung memang. Dan, tadi siang ia sudah resmi tinggal di tempat kos baru.
Menyewa satu kamar di rumah salah seorang penduduk di kampung itu. Kamar kos sederhana. Berukuran sedang dan berdinding kayu.
Polesan dinding kamar dan langit-langit dengan cat warna krim biru itu menimbulkan kesan kedamaian.
Tuk! Tuk! Tuk!
Diarman menoleh ke pintu tatkala mendengar ketukan dari luar. Ia bangkit untuk membukakan pintu.
“Murni!...”
Diarman bergumam. Saat melihat wanita yang sudah dikenalnya itu sudah berdiri di depan pintu.
Murni tersenyum.
“Maaf, pak guru. Saya sudah mengganggu istirahat sore pak guru,” ujarnya kemudian.
“Tidak apa-apa, Murni....”
“Boleh aku masuk?”
Diarman melongo. Tak menduga Murni seberani sekarang ini.
Murni keterlaluan!
Apa kata buk Yulia nanti? Baru pindah saja sudah berani mengajak perempuan ke dalam kamarnya. Diarman membatin.
“Kenapa melongo, pak guru?”
“Hm...” Diarman gugup sembari garut-garut kepalanya yang memang tidak gatal.
Murni tersenyum lagi. Merasa lucu dengan tingkah Diarman.
“Murni, darimana kamu tahu kalau aku sudah pindah kesini?” tanya Diarman penasaran. Mengalihkan perhatian Murni.
“Dari tanteku sendiri.... Rumah ini adalah milik tanteku.” Jawab Murni.
“Jadi, buk Yulia itu, tantemu?”
“Iya. Kenapa emangnya?”
“Kamu tak pernah bilang...’
“Ya, pak guru juga tak pernah bertanya. Pindah tempat kos pun tidak memberitahu...”
Diarman kehabisan kata untuk disampaikan.
“Jadi, boleh aku masuk...?” desak Murni.
“Sebaiknya kita ngobrol di ruang tamu saja, Murni. Apa pandangan tantemu nanti kalau aku seorang guru, baru kos disini, berani memasukkan perempuan ke kamar.....” Diarman menolak halus.
“Pak guru, tadi aku sudah minta izin pada tante. Katanya boleh kok...”
“Aku tak enak hati, Murni...”
“Kalau pak guru tidak percaya, mau aku panggilkan tanteku kesini?”
“Bukan begitu, Murni...” ucapan Diarman tergantung.
“Ealaaah. Ada apa ini?” Buk Yulia tiba-tiba muncul. “Kamu Murni malah ngajak pak guru ngobrol di depan pintu. Hayo, buatkan dulu kopi pak guru...”
“Iya, tante...” Murni berlalu dan melangkah ke dapur.
Buk Yulia tersenyum pada Diarman. Lalu berkata,
“Pak guru, si Murni itu keponakan saya. Dia sudah banyak bercerita tentang pak guru. Dan, saya sudah tahu hubungan kalian,”
“Benarkah itu, buk?” seru Diarman kaget.
Buk Yulia mengangguk.
“Jangan kecewakan keponakan saya, pak guru...” ujar ibuk pemilik rumah itu sambil berlalu.
Diarman masuk kembali ke kamarnya. Duduk disisi dipan sembari mengusap rambutnya dengan tangan.
“Ini kopi untuk pak guru,” Murni datang dan langsung masuk ke kamar dan meletakkan minuman di atas meja kerja Diarman.
“Terima kasih...”
“Iya, aku pergi dulu pak guru...” ujar Murni seraya melangkah hendak meninggalkan Diarman.
“Murni, tunggu...” seru Diarman, menahan langkah Murni. Wanita keponakan buk Yulia itu membalikkan tubuhnya.
“Rupanya tantemu sudah mengetahui hubungan kita,”
“Iya, aku yang memberitahunya dan tante setuju,” ujar Murni sembari duduk dipinggir dipan.
Diarman memegang tangan Murni. Seiring dengan itu angin sore menyeruak masuk ke kamar lewat jendela.
Terasa sejuk tatkala menerpa tubuh kedua insan yang tengah dilanda asmara itu.***