Membumikan Paradigma Profetik dalam Paradigma Pendidikan di Indonesia
Membumikan paradigma profetik dalam paradigma pendidikan di indonesia - Dewasa ini dunia pendidikan mengalami berbagai macam disrupsi terutama terkait paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan saat ini cenderung berorientasi pada materialistis dan justru menghilangkan ruh dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang hakekatnya adalah menjadikan manusia berkarakter, berakhlak yang dapat memanusiakan manusia, justru menjadi pendidikan yang penuh kompetisi.
Pendidikan seolah-olah adalah tempat untuk mencetak “barang” dengan hanya berorientasi pada keunggulan akademik dan pragmatisme saja.
Sehingga tidak dapat dipungkiri pendidikan berbasis materialistis tersebut memunculkan dehumanisasi, seperti perundungan (bulliying), tidak adanya rasa empati, bersikap amoral, kekerasan dan sebagainya.
Dalam hal ini penting untuk merubah paradigma pendidikan di Indonesia, salah satunya dengan paradigma profetik.
Istilah profetik berasal dari kata ‘prophet’ yang berarti nabi, paradigma ini menekankan pada nilai-nilai kenabian.
Secara sederhana, paradigma profetik melampaui visi “ilmu untuk ilmu”, lebih dari itu yaitu “ilmu untuk penyelesaian problem sosial”.
Paradigma ini pada hakikatnya adalah visi keilmuan untuk menjadikan ilmu penyeru kemaslahatan (science for preaching).
Di Indonesia, ide paradigma profetik dapat kita runut dari Kuntowijoyo (1991). Melalui buku karyanya “Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi” ia berusaha memahami Al-Qur’an dalam kerangka ilmu pengetahuan.
Dalam istilah teologi, konsep ini mirip dengan teologi pembebasan (liberation theology) (Engineer 1999, 1–2).
Gagasan tentang paradigma profetik Kuntowijoyo terinspirasi dari Al-Qur’an, khususnya surah Al-Imron;110 “kuntum khoiro ummah ukhrijat li an-nas; ta’ murunah bi al-ma’ruf, wa tan hauna’ an al-munkar; watu’minunah billah” kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena (kamu) menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang munkar.
Paradigma profetik Kuntowijoyo berdasarkan ayat diatas mempunyai tiga unsur pokok (core values), yaitu ta’murunah bi al maruf (pilar humanisasi), tan hauna’an mungkar (pilar liberasi), dan tu’minu billahi (pilar transendensi).
Terma pertama, amar ma’ru,f identik dengan prinsip kemanusiaan (humanisasi).
Dalam konteks pendidikan sangat penting untuk mendesain paradigma pendidikan Islam berbasis kemanusiaan, baik dari kurikulum dan proses pembelajaran.
Pendidikan tidak boleh hanya berlangsung transfer of knowledge tetapi juga transfer of value.
Turunan prinsip humanisasi ini dapat diejewantahkan dengan menciptakan ruang pendidikan (sekolah) yang berbasis Hak Asasi Manusia (HAM).
Manifestasi pendidikan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) ini, yaitu setiap elemen pendidikan menyadari bahwa manusia mempunyai harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi.
Manusia adalah mahluk yang sempurna (ahsani taqwim) dan memiliki keistimewaan serta keunikan masing-masing.
Ihwal perwujudan yang konkret, dapat dilakukan dengan menciptakan sekolah yang aman, baik dari tidak adanya perundungan (bulliying), kekerasan (violent), dan penindasan (suppression).
Selain itu, semua elemen pendidikan, khusunya guru (al-muddarisu) mampu mendorong peserta didik untuk mencapai aktualisasi diri (self actualization) yang sempurna.
Terma kedua, nahi munkar, diartikan dengan prinsip liberasi.
Prinsip liberasi profetik Kuntowijoyo ini bukan pada ideologi liberasi, tetapi liberasi pada konteks ilmu. (Kuntowijoyo, 1997).
Dalam konteks pendidikan, liberasi ini untuk membebaskan pendidikan materialistis menjadi pengetahuan berbasis nilai (values based education) Dalam buku lossing Heart (2006) karya seorang professor dari Universitas of Carolina bernama Svi Shaviro menyatakan bahwa pendidikan materialistis hanya menuntut pada nilai akademis yang tinggi, bukan belajar supaya menjadi manusia yang bijak dan lestari.
Hal ini senada dengan salah seorang tokoh pendidikan dari Brazil Paulo Freire yang mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk menjadikan manusia unggul dalam bidang akademis saja, tetapi pendidikan mempunyai visi mencetak manusia yang paripurna.
Selain itu, pendidikan paradigma profetik dengan konsep liberasi adalah menjadikan proses pembelajaran berbasis pada student center learning (pembelajaran berpusat pada siswa), bukan teacher center learning (pembelajaran berpusat pada guru).
Terma ketiga adalah tu’minu billahi. Pilar yang tetap mengedepankan nilai transendental dalam kebudayaan (Kuntowijoyo, 2017).
Dalam pendidikan Islam nilai transendental ini sebagai nilai yang fitrah dan pembebas dari belenggu pendidikan yang materialistis.
Pendidikan Islam yang sempurna harus memiliki dimensi transendental. Pada hakekatnya, the heart of education is education the heart and from the heart, inti pendidikan adalah pendidikan hati dan dari hati.
Oleh karena itu dimensi transendental ini menjadi bagian penting dari pendidikan.
Untuk umat Islam tentu dimensi transendental merujuk pada Tuhan (Allah). Takhallaqu bi akhlaqillah, berakhlak, belajarlah dengan akhlak Allah.
Pendidikan yang mengedepankan asas ketuhanan dapat terjaga dengan nilai-nilai yang luhur, sehingga tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia berkahlak yang dapat memanusiakan manusia dan membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).
Ketiga pilar dalam paradigma profetik tersebut sangat berkaitan satu sama lain. Humanisasi, liberasi dan transendensi tidak dapat berdiri sendiri (independent).
Meminjam bahasa Prof. Amin Abdullah bahwa ketiganya harus dalam satu bingkai, yaitu integrasi-interkoneksi.
Dalam pendidikan Islam jika hanya mengedepankan nilai transendensi akan hanya berkutat pada ranah yang teologis.
Sedangkan, jika hanya mengedepankan nilai liberasi, manusia akan cenderung bersikap bebas “semaunya”.
Dan jika hanya pada nilai humanisasi tentu akan berdampak pada kurangnya rasa spiritualitas.
Menurut Muhammad Iqbal, paradigma profetik identik dengan kesadaran kenabian (prophet consciouesness). Kesadaran ini merupakan lawan dari kesadaran mistik (mystichal consciouesness).
Kesadaran kenabian adalah dimana ketika manusia mampu untuk bergerak dinamis dan tidak terpengaruh oleh cakrawala. Sedangkan, kesadaran mistik adalah manusia yang terlarut dalam cakrawala.
Maksudnya, orang yang memiliki kesadaran kenabian (profetik) akan menjadi manusia sempurna yang dapat mengejewantahkan pengetahuan dan pengalamanya untuk kemajuan sebuah peradaban.
Dengan konsep pendidikan berparadigma profetik penulis yakin akan terciptanya generasi-generasi“rausyanfikr”. Generasi yang disebut Ali Syariati sebagai orang yang tercerahkan.
Manusia-manusia yang sadar mengenai keadaan manusia (human condition), keadilan (justice) dan kesejahteraan (well-being). Manusia yang menjadi problem solver atau yang dapat menyelesaikan permasalahan diri dan realitas sekitar.
Simak juga : Perspektif Profetik dalam Pendidikan Karakter
Oleh karena itu, pendidikan berparadigma profetik tujuanya adalah menjadikan manusia bernilai dan berbudaya tinggi dengan unggul secara intelektual dan spritual, serta anggun dalam moral.*** (Penulis : Fajar Dwi Noviantoro)
*Fajar Dwi Noviantoro, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Pegiat Pendidikan di Rumah Kearifan Yogyakarya.